Cari Blog Ini

Minggu, 08 April 2012


Sejarah Kampung Kuta Ciamis

Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, berbatasan dengan Jawa Tengah itu dikenal sebagai Kampung adat. Ada beberapa versi mengenai sejarah Kampung Kuta ini.

Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya Kerajaan Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita sakti) hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat kerajaan karena letaknya strategis.


Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang (Kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut orang tua, "tidak memenuhi Patang Ewu Domas").

Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan. Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama "Tenjolaya".

Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama "Kepel". Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana .

Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy.

Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara.

Tempat Aki Bagalantrang mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah "Geger Sunten", sekitar 6 km dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa berkumpul kembali dengan anaknya.

Di Kampung Kuta terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi. Diceritakan bahwa bekas kampung Galuh yang telah diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya, masing-masing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela.

Raja Cirebon berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing.

Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama "Pongpet". Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama "Regol", sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta.

Sesampainya di sana, Aki Bumi menemui para tetua kampung dan melakukan penertiban- penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yang disebut "Pamarakan". Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta.

Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di Kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi. Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa "Di kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di Kampung itu." Ternyata, hingga saat ini rakyat di kampung itu memang tidak ada yang kaya. Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan keris.

Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang kemudian disebut "Cibodas". Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengah- tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih ada hingga saat ini. Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah Kampung, yang sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut "Pemakaman Aki Bumi". Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.

Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang mempunyai keterkaitan dengan mitos yang diceritakan dalam sumber naskah. Keterkaitan itu kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan.

Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para kuncen atau tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai asal-usulnya. Pertama, tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun. Adanya perbedaan versi suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun memungkinkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun berapologia atas kesalahan tokoh tersebut.

Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk pemikiran mitis.

Hingga saat ini, Kampung Kuta tetap dilestarikan sebagai kampung adat atau petilasan. Masyarakatnya masih memelihara dan melestarikan tradisi-tradisi leluhur mereka. Pantangan-pantangan pun dibuat untuk menjaga kelestarian tradisi itu, seperti larangan membuat rumah dari tembok dan memakai atap genteng, larangan mengubur mayat orang dewasa kecuali bayi kecil dan dalamnya pun tidak melebihi pangkal paha, larangan menggali sumur terlalu dalam, larangan mementaskan wayang, larangan meminum minuman keras, tidak boleh sombong atau menentang adat kuta, dan sebagainya.

Dengan masih bertahannya Kampung Kuta sebagai Kampung Adat yang berada di Ciamis ini, sepatutnya harus kita banggakan, karena dengan adanya Kampung Kuta sebagai Kampung Adat yang masih bertahan menunjukkan bahwa masih ada pelestari kebudayaan yang masih eksis hinga saat ini. Mari kita lestarikan warisan kebudayaan leluhur...


Sumber: Blog Kang Mustafid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar